Krisis Integritas Akademik: “Apa yang Perlu Kita Upayakan?”

Ilham Akhsanu Ridlo
7 min readJun 29, 2023

--

Photo by Diane Serik on Unsplash

Dokter bedah Paolo Macchiarini dinyatakan bersalah atas penyerangan berat terhadap tiga pasiennya dan telah dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun 6 bulan. Macchiarini telah melakukan operasi eksperimental pada pasien-pasien tersebut pada tahun 2011 dan 2012 saat bekerja di Institut Karolinska, dengan menanamkan batang tenggorokan sintetis yang dibenamkan dengan sel punca dari sumsum tulang pasien. Ketiga pasien meninggal ketika implan gagal, dan keputusan tersebut menyatakan bahwa Macchiarini “bertindak dengan niat kriminal” dan sadar akan risiko yang ada. Pengacara Macchiarini berencana untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.

Namun, kesalahan yang dilakukan Dr. Macchiarini dan hilangnya nyawa yang diakibatkannya hanyalah permulaan. Institusi-institusi yang terlibat enggan mengakui adanya kesalahan ilmiah dan butuh waktu bertahun-tahun sebelum makalah Dr. Macchiarini ditarik kembali (retracted) dari penerbitan ilmiah.Kasus ini membuat daftar panjang perangai peneliti terkemuka berkaitan dengan hukuman penjara dan permasalahan hukum. Bersamaan dengan kasus ini, kemunculan kasus yang berkaitan dengan kecurangan di ekosistem publikasi ilmiah dapat mudah ditemui dan menjadi diskusi di kanal investigasi sains seperti Rectraction Watch dan klub jurnal ilmiah daring Pubpeer. Dari dua kanal ini misalnya memunculkan indikasi bisnis nir-etika pada contoh kasus terakhir setelah munculnya investigasi ilmiah yang ditulis oleh Dorothy Bishop di preprint server-Psyarxiv berisi retraksi beberapa artikel di jurnal Hindawi pada bulan Februari 2023. Preprint ini saat ini sudah diunduh sebanyak 667 kali dan dilihat 4934 pengunjung.

Jalan Liar Menuju Publikasi Ilmiah

Kasus Macchiarini ini satu dari banyak perangai buruk komunitas ilmiah berkaitan dengan problematika integritas akademik. Problem ini membuka mata kita tentang fenomena gunung es dalam institusi akademis dan komunitas penelitian ilmiah secara luas. Maka sepatutnya kita menanyakan ulang mentalitas“publish or perish” sehingga komunitas ilmiah saat ini mengesampingkan integritas akademik untuk pertaruhan pengakuan, kecepatan dan kuantitas penelitian ilmiah yang diterbitkan di jurnal ilmiah. Beberapa persoalan berkaitan dengan integritas akademik saat ini yang mencolok diantaranya dapat saya tulis disini.

Pabrik Kertas (Paper Mills)

Tekanan untuk mempublikasikan sering menjadi pemicu utama dalam skema penerbitan yang tidak etis (unethical publication). Praktik ini bisa muncul dalam berbagai cara, mulai dari manipulasi sistem publikasi melalui paper mills, memperoleh kutipan yang tidak layak, hingga menciptakan temuan penelitian dari angan-angan.

Istilah “paper mills” atau “pabrik kertas” dalam konteks publikasi ilmiah dan komunitas akademis merujuk pada organisasi atau layanan yang menghasilkan artikel ilmiah palsu atau berkualitas rendah yang kemudian diterbitkan di jurnal ilmiah dengan bekerjasama dengan editor-in-chief jurnal ilmiah. Praktik ini biasanya dilakukan untuk memenuhi tekanan kuantitas publikasi dalam komunitas ilmiah/akademik.

Contoh: Seorang peneliti atau penulis dapat membayar “pabrik kertas” untuk menulis makalah atas nama mereka, atau “pabrik kertas” bisa juga menerima imbalan dari peneliti untuk menerbitkan makalah mereka, seringkali tanpa tinjauan sejawat (peer-review) yang memadai atau bahkan tanpa tinjauan sama sekali. Hasilnya, peneliti mendapatkan publikasi tambahan di CV mereka, yang bisa memberikan mereka keuntungan dalam hal promosi, pengakuan peer, atau pendanaan penelitian. Namun, praktik ini merusak integritas akademik dan pengetahuan ilmiah karena dapat menghasilkan informasi palsu atau menyesatkan yang dipublikasikan dan dapat mengecoh peneliti lain, pengambil kebijakan, atau publik.

Pabrik kertas bisa dibilang merupakan salah satu masalah terbesar dalam infrastruktur penelitian saat ini. Praktik culas ini tidak hanya merusak secara moral dan etika ilmiah, tetapi juga mempunyai potensi pemborosan anggaran negara/universitas/lembaga. Para peneliti yang “berkolaborasi” dalam praktik pabrik kertas ini diperkirakan menghabiskan 1 miliar euro per tahun (atau sekitar 16 Triliyun Rupiah per tahun) untuk menambahkan nama mereka ke dalam makalah yang diterima. Tidak hanya sulit dicegah karena praktik ini berkaitan dengan ekosistem kinerja dan insentif di suatu negara, tapi juga sulit dideteksi karena sifat penerbitan ilmiah yang anonim, berlapis dan juga melalui jurnal-jurnal yang terpisah. Beberapa kasus yang muncul dan menjadi perhatian terjadi di China, India, Rusia, Iran dan juga beberapa potensi praktik serupa di negara lainnya termasuk di Indonesia. Praktik ini pun punya korelasi dengan peningkatan nilai sitasi, metrik h-index yang digunakan menunjang portofolio peneliti pun digunakan untuk indikator kinerja para peneliti dan akademisi, sehingga praktik ini dapat “mudah” ditemui di negara yang mengagungkan capain ranking dan metrik (h-index, sitasi dan sejenisnya)

Data Palsu, Penelitian Palsu, dan Kutipan Palsu

Data palsu dan penelitian palsu dapat terlihat jelas, tetapi sebagian besar keduanya tidak nampak dapat dilihat dengan mudah. Sejak beberapa tahun terakhir misalnya studi tentang hal ini dengan menggunakan metode repeatability, reproducibility dan replicability tidak banyak dilakukan di semua disiplin ilmu, termasuk juga mempunyai kesulitan di beberapa disiplin sosial dan metode kualitatif. Pengujian ulang atas sebuah penelitian ilmiah yang sudah terbit di jurnal ilmiah juga tidak dianggap hal yang menguntungkan oleh para pengambil kebijakan riset. Mereka menganggap riset dengan tiga pendekatan ini tidak efisien.

Meskipun kasus Dr. Macchiarini yang disebutkan sebelumnya terdengar ekstrem, ini bukanlah yang pertama kalinya. Peneliti lain, Dr. Hwang Woo-suk, seorang yang diduga sebagai “pelopor” dalam kloning, memiliki kisah serupa tentang kesalahan penelitian yang parah. Hwang akhirnya mengkloning unta untuk kerajaan Uni Emirat Arab. Meskipun kasus-kasus ini tampak seperti pengecualian, mereka hanya mewakili contoh yang lebih banyak kasus yang dipublikasikan dan dihukum. Sebuah studi baru-baru ini memperkirakan bahwa 28%, atau sekitar 300.000 makalah, di bidang biomedis (saja) kemungkinan palsu. Jika temuan ini diekstrapolasikan ke seluruh bidang ilmu pengetahuan, maka akan ada setengah juta makalah yang meragukan per tahun (28% dari sekitar 2 juta makalah yang diterbitkan setiap tahunnya).

Permasalahan data dan penelitian palsu juga berlanjut dengan pengutipan palsu (fake citation) yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan rekognisi instan yang lagi-lagi dilakukan sebagai akibat dari pemberian insentif yang tidak tepat. Para peneliti merasa bahwa tingginya sitasi juga dianggap sebagai ukuran dampak (impact) padahal jika dilihat, ini hanyalah ukuran luaran (output) dari sebuah riset yang dikuantitasi dengan ukuran angka.

Mendorong (ulang) Integritas Akademik yang Lebih Baik

Teknologi baru, seperti kecerdasan buatan (AI) yang bersifat generatif, dapat membuat masalah ini semakin menantang. Saat ini, beberapa peneliti telah menciptakan data palsu yang sangat meyakinkan, seperti gambar mikroskopis palsu. Kedepan kemungkinan dan kekawatiran penggunaan AI untuk membuat gambar palsu juga mendapatkan perhatian.

Gambar-gambar ini tidak hanya sulit untuk dideteksi, tetapi juga sulit untuk membuktikan bahwa gambar-gambar tersebut dihasilkan oleh AI. Pabrik kertas, data palsu, penelitian palsu dan pengutipan palsu bisa dibilang sebagai tantangan terbesar dalam infrastruktur penelitian di era AI saat ini. Penggunaan AI yang generatif dalam penelitian memperparah masalah ini. AI mampu menciptakan ‘kepalsuan’ yang sangat meyakinkan.

Meski kita berhadapan dengan masalah yang besar, tetapi ada upaya yang sedang dilakukan untuk memperbaiki integritas akademik. Solusi yang ditawarkan sebagian besar berfokus pada proses publikasi, mencoba mendeteksi atau menghindari publikasi penelitian yang meragukan.

Dunia akademik memiliki sistem koreksi mandiri. Meskipun proses ini bisa lambat, tetapi dengan kombinasi transparansi, penegakan hukum, dan teknologi baru, kita dapat menavigasi kembali ke arah integritas akademik.

Sebagaian besar bahasan di lingkungan akademik tentang persoalan integritas akademik lebih banyak menyerap perhatiannya pada permasalahan plagiasi dan integritas di kalangan Mahasiswa. Walaupun ada, namun sedikit yang berfokus pada isu yang sama di kalangan akademisi dan peneliti profesional.

Penarikan Kembali (Retraction)

Ekosistem ilmiah memiliki sebuah sistem koreksi diri, meskipun seringkali kurang mendapatkan dukungan dan perlunya transparansi. Salah satu mekanisme yang paling penting adalah penarikan kembali (retraksi) artikel ilmiah. Namun upaya yang mendorong lebih terbiasa dalam hal transparansi ini tidak mudah. Itulah mengapa Retraction Watch ada, untuk menyoroti penarikan artikel ilmiah yang ada dan meningkatkan transparansi dalam sistem publikasi ilmiah.

Berkaca dari kasus Dr. Macchiarini, baru tahun 2023 makalah tahun 2015 (yang berisi tentang operasi dimana ia sudah terbukti melakukan kesalahan) ditarik kembali, membuat total penarikan yang dilakukan oleh jurnal menjadi 9 artikel ilmiah. Selanjutnya jurnal ini bereaksi dengan tidak lagi menerima pengutikan atas artikel-artikel yang sudah ditarik.

Jurnalisme-Investigasi-Sains

Jika Dr. Adrian Barnett, seorang metasaintis, baru-baru ini menyoroti solusi untuk mendorong adanya detektif riset (research detective), atau individu yang bertugas menemukan dan mengungkap penelitian yang salah/curang. Sejauh ini sebenarnya fungsi-fungsi investigasi ini sudah banyak dilakukan oleh jurnalis sains. Beberapa laporan mereka banyak bertebaran di dalam Science, Nature, The Atlantic, The Scientist dan juga Blog investigatif sains seperti Retraction Watch. Walaupun yang terakhir saya kurang yakin apakah mereka masuk dalam profesi jurnalis.

Namun jika berkaca pada pemahaman bagaimana fungsi jurnalis sains sebagai aktor pengungkap kebenaran dan mendorong ekosistem ilmiah dan sains yang demokratis.

Jurnalisme sains adalah bentuk jurnalisme khusus yang melaporkan penemuan, kemajuan, dan inovasi ilmiah. Jurnalisme sains melibatkan proses pengumpulan, evaluasi, dan penyajian informasi tentang topik-topik ilmiah kepada masyarakat umum dengan cara yang mudah diakses dan dimengerti.

Seorang mikrobiolog Belanda, Dr. Elisabeth Bik, dapat menjadi contoh upaya ‘heroik’ di bidangnya, Bik telah melaporkan lebih dari 4.000 makalah yang mempunyai potensi fraud. Tetapi usaha heroik semacam itu tidak langsung dan terbuka dihargai dalam sistem akademis yang ada. Lebih dari itu Bik melakukan itu dari kehendaknya sendiri dan mencari dukungan melalui penggalangan dana.

Sehingga dalam konteks yang lebih profesional, fungsi investigasi sains (research detective) ini dapat dimulai oleh profesi yang punya kapasitas dan juga kewenangan khusus seperti jurnalis sains. Di Indonesia profesi ini tergolong “baru” jika dibandingkan dengan profesi jurnalis umum yang sudah lebih berkembang, walaupun wadahnya sudah ada seperti SISJ (Society of Indonesian Science Journalist) Jurnalis sains di Indonesia belum banyak (?) mengarahkan reportasenya pada ekosistem riset dan fraud di bidang akademik. Pun media sains masih bercampur dengan produk sains sebagai bagian dari liputan berita umum atapun “hiburan”. Setidaknya saat ini The Conversation Indonesia yang hanya mengkhususkan diri pada area komunikasi sains (bukan jurnalisme sains). Melihat konteks Indonesia, bisa dibilang diskursus integritas akademik tidak banyak muncul dari kacamata telaah praktik riset peneliti, namun masih ada di konteks politik kampus dan kebijakan tata kelola lembaga pendidikan tinggi/riset.

Kita butuh lebih dari ini.

Organisasi dan Standardisasi

Beberapa organisasi telah muncul untuk menangani masalah integritas akademik yang merusak sistem penerbitan ilmiah dan penelitian. Kita mengenal Komite Etika Publikasi/Committe on Publication Ethics (COPE) terdiri dari individu, penerbit ilmiah, dan universitas di seluruh dunia, yang berkomitmen untuk menciptakan budaya akademik di mana praktek etis menjadi norma. Selain organisasi ini, beberapa konferensi tahunan berfokus pada penelitian etik ilmiah. Termasuk tahun ini, Inggris akan menjadi tuan rumah Konferensi Etika Penelitian (REC2023) dan Konferensi Eropa tentang Etika dan Integritas di Akademia (ECEIA).

— — —
Tulisan ini diadaptasi dari tulisan MARINA KISLEY berjudul Fake Science: Where is academic integrity heading? dengan melakukan proses translasi ulang, penambahan kutipan, penambahan konteks menyangkut jurnalisme sains dan konteks Indonesia.

--

--

Ilham Akhsanu Ridlo

Science Watchdog. Research on Communicating Science: A Collaboration Between Scientists and Journalists Covering the COVID-19 Pandemic in Indonesia.