Mengapa Akademisi Seharusnya ‘Berkicau’ di Twitter?

Ilham Akhsanu Ridlo
6 min readAug 22, 2022

--

Photo by Claudio Schwarz on Unsplash

Sejak saya memutuskan untuk membuat akun Twitter Mei 2009 silam, penggunaan Twitter untuk sarana ‘berkicau’ dan bersautan antar teman telah berkembang dengan pesat. Mungkin ini opini pribadi, bahwa perkembangan #AcademicTwitter mengalami pasang surut. Pada awal-awal tahun 2000-an Twitter berisi kanal-kanal akun artis dan ragam pendengung hiburan. Tidak jarang follower jutaan itu mencuitkan aktivitas mereka untuk para penggemar. Namun semakin kesini Twitter menjadi palagan kicauan yang lebih serius.

Video: Twitter juga melahirkan dampak dalam politik di Amerika Serikat sejak 15 tahun keberadaannya pada tahun 2021 saat pemilihan presiden Trump vs Biden.

Tidak sekedar permasalahan yang dibahas industri media arus utama, namun bergeser ke isu sosial politik. Puncak #AcademicTwitter pun terjadi saat pandemi COVID-19 di awal 2020-an. Tsunami informasi dari semua sumber bertebaran. Bahkan gejala ini memunculkan ‘selebtwit’ (sebutan untuk pengguna twitter dengan jutaan pengikut) baru yang berisi kelompok ilmuwan, politisi, pakar/ahli epidemiologi, dan juga kelompok-kelompok anti-tesis seperti penentang vaksinasi (antivaks) serta kelompok pemuja teori konspirasi.

Tagar #AcademicTwitter pun berkembang menjadi banyak lainnya seperti #ScienceTwitter #PhDLife dan lainnya. Sampai sekarang cuitan bertagar seputar akademik ini terus bertambah setiap harinya. Kemungkinan jumlahnya sudah ribuan dan jutaan (mungkin saja).

Lalu, pertanyaannya adalah seberapa pentingkah Twitter bagi akademisi (Ilmuwan dan Peneliti) ?

Pertanyaan ini yang coba saya jawab. Tentu akademisi berkicau merupakan hal yang sangat personal. Namun kepentingan berkicau dalam platform Twitter ini perlu ditulis lebih rapi sehingga banyak orang dapat memahami seberapa penting akademisi ber-twitter. Saya coba ilustrasikan begini.

Hhhmm. Saya percaya bahwa Twitter dapat memberikan peluang baru bagi para akademisi termasuk ilmuwan dan peneliti. Terlepas dari senioritas, posisi hirarki akademik dan insitusi yang melekat, media Twitter ini mempunyai kedudukan egaliter bagi semua orang untuk berpendapat. Bagi akademisi muda (early carreer researchers) dengan aktif berkontribusi di Twitter, kita dapat mengikuti perkembangan metode yang sedang berkembang setiap harinya, pintu kolaborasi dengan peneliti dan ilmuwan sangat terbuka, termasuk dengan komunitas ilmuwan yang sebidang ilmu dan kolegium kajian keilmuan area riset yang spesifik.

Saya juga amati sejak tiga belas tahun lalu, diskusi egaliter di Twitter itu dapat menjadi umpan balik yang cukup kritis dan kontruktif tentang beberapa riset yang sedang kita tekuni. Walaupun memang tidak sedikit kritik ini bisa menimbulkan perdebatan yang tidak perlu tapi kita bisa menentukan dimana tingkat kesadaran kita untuk menerima masukan yang memang relevan. Bagi beberapa orang Twitter juga menjadi ajang penyampaian gagasan yang unik. Diluar bahaya negatif berupa bullying dan penyebaran mis-disinformasi, rasanya jika ditimbang Twitter masih lebih banyak memberikan dampak positif bagi para akademisi. Namun ingat, kita juga harus tahu akun mana yang paling sesuai dengan misi kita berkicau di Twitter.

Sejak berkarir di dunia akademik tahun 2015 saya mulai sering memilih banyak yang sesuai dengan keilmuan dan berguna untuk jejaring dalam pengembangan karir sebagai dosen. Sebagai akademisi muda-hingga kini-beberapa isu seputar pendidikan tinggi dan area keilmuan riset saya bagikan dalam beberapa utas di Twitter. Ini sedikit berbeda dengan iklim akademik yang ada di perguruan tinggi yang harus diakui sedikit memberikan ruang bagai dosen muda untuk melakukan diseminasi. Ruang akademik dewasa ini dianggap kaku dan hirarkis bagi para dosen muda. Setidaknya ini yang sering dikeluhkan oleh beberapa kolega dosen muda termasuk saya. Di ekosistem media sosial seperti Twitter hal tersebut tidak terjadi. Bisa saja akademisi lainnya merasakan hal yang berbeda dengan saya, namun bermedsos di Twitter dapat memberikan kesempatan bagi para ilmuwan termasuk dosen awal karir untuk secara bebas berjejaring dengan kolega tanpa sekat sosial dan geografis. Saya bisa berbincang bebas dan berdiskusi tentang topik akademik dengan rekan di universitas lain di dalam dan luar negeri dengan santai dan penuh insight.

Setidaknya beberapa kali diskusi kami menyoal ragam permasalahan dunia akademik direkam dan diulas lebih lanjut di kolom media seperti The Conversation Indonesia. Mungkin ini juga yang membuat semarak akademisi di Indonesia saat ini lebih intens untuk saling berbagi informasi dan ‘keluh-kesah’ aktual tentang permasalahan pendidikan, akademik, keilmuan dan kritik-kritik sosial yang relevan bagi publik.

Diskusi yang terjadi dalam platform Twitter ini menurut saya bukan cuma ‘kicauan’ kosong. Walaupun ini jalur informal namun cukup membuka pandangan publik bahwa jalur komunikasi Twitter ini punya dampak pada sentimen awam tentang para akademisi dan dunianya.

Bagaimana Twitter Berperan dalam Karir Akademisi?

Daniel Quintana adalah salahsatu ilmuwan yang mempunyai pandangan dan argumen menarik tentang bagaimana dan apa perlunya ilmuwan berkicau di Twitter. Dalam buku elektronik yang disusunnya secara terbuka Daniel, dia menulis dalam delapan bab yang cukup baik mengulas bagaimana ilmuwan dan akademisi dapat memulai menjadi ‘Selebtwit’ dan membagikan ilmu dan pandangannya ke publik dengan Twitter. Buku elektroniknya dapat dibaca dan kutip dibawah ini.

Quintana, D.S. (2020). Twitter for Scientists [eBook edition]. Retrieved from https://t4scientists.com/. DOI: 10.5281/zenodo.3707741

Kita dapat membaca buku elektronik Daniel untuk memahami bagaimana Twitter digunakan oleh para akademisi. Secara lengkap Daniel sudah mengupas ini. Nah kembali ke pertanyaan awal “Mengapa Seharusnya Akademisi Menggunakan Twitter? Pertanyaan ini juga sempat saya sampaikan di Twitter beberapa hari yang lalu.

Nah, mungkin beberapa pertimbangan ini yang dapat menjadi alasan mengapa para akademisi seharusnya membuat akun Twitter.

Kolaborasi
Dari ilustrasi saya sebelumnya secara singkat Twitter dapat dijadikan platform kolaborasi antar akademisi (ilmuwan dan peneliti) terlebih perjumpaan fisik untuk inisiasi awal kolaborasi akan lebih sulit karena kesibukan masing-masing. Twitter bisa menjadi sarana inisiasi awal kolaborasi yang lebih solid.

Capture Picture from Youtube Indoor Chem, https://www.youtube.com/watch?v=J27XUV2ebUY

Belajar
Sarana belajar dan berbagi. Iklim Twitter yang egaliter memungkinkan semua akademisi untuk membagi dan menyerap paparan (utas) atau informasi yang berguna dan bermanfaat dari rekan sejawatnya. Bahkan dari seorang profesor yang cukup terkenal ahli di bidang ilmu tertentu. Misalnya, saya menjadi pengikut setia akun Eric Topol di twitter karena dari utasnya saya bisa belajar cara melakukan telaah scientific evidence (bukti ilmiah) tentang COVID-19.

Akun Eric Topol yang menjadi rujukan bagi ilmuwan dan akademisi bidang kesehatan masyarakat

Promosi
Jika saat ini para akademisi (utamanya di Indonesia) dihadapkan pada keinginan baik individu maupun lembaga untuk meningkatkan sitasi artikel ilmiah mereka, maka jalan organik yang bisa ditempuh oleh akademisi adalah dengan menggunakan Twitter. Dengan menggunakan Twitter, akademisi dapat membagi dan menawarkan temuan penting yang bermanfaat bagai publik untuk dibagi dan dibaca lebih luas oleh khalayak. Promosi tidak seputar pandangan ahli mereka, namun juga karya ilmiah terbaru mereka dari artikel di jurnal ilmiah. Akademisi dapat membuat sebuah utas yang komunikatif kepada khalayak. Tentu ini juga membutuhkan kecakapan lain berkaitan dengan komunikasi sains. Namun jika dinilai kemampuan ini kurang, maka akademisi dapat berkolaborasi dengan jurnalis sains atau media sains.

Sisi promosi organik menjadi tawaran di Twitter, walaupun begitu memang ada banyak ‘jalan pintas’ para akademisi untuk mendongkrak sitasi ilmiah mereka, namun seringkali langkah mereka menyelisihi prinsip etika publikasi ilmiah. Banyak bukti yang sahih tentang perilaku tercela akademisi soal ini. Misalnya artikel yang viral yang berjudul “Efek kobra, dosen Indonesia terobsesi pada indeks Scopus dan praktik tercela menuju universitas kelas dunia” Perilaku ‘instan’ ini yang sebaiknya dihindari oleh para akademisi.

Keterikatan
Tidak sedikit akun institusi pemegang kebijakan sains atau kebijakan publik dengan meningkatnya pengguna Twitter juga ikut meramaikan diskusi. Tidak sedikit akun ini memang diperuntukkan untuk menggali aspirasi publik pengguna Twitter dan pengguna internet (warganet) sehingga selain membagi pada khalayak, para akademisi juga dapat dengan bebas melakukan ‘mention’ untuk memberikan telaah dan masukan kepada aktor kebijakan publik ini. Pun juga aktor politik yang punya konsen terhadap isu yang relevan dengan kajian akademik yang sedang dibahas para peneliti atau ilmuwan. Memang tidak selalu mendapatkan respon, namun ekosistem komunikasi di Twitter ini memungkinkan itu terjadi.

Nah ini beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagaimana seharusnya dan mengapa penting bagi akademisi untuk ikut meramaikan Twitter. Bagaimana sudah mempunyai akun twitter? mari berkicau.

Jangan lupa ikuti juga akun Twitter saya ya, Besties. Salam. :D

Baca juga coretan saya lainnya:

--

--

Ilham Akhsanu Ridlo

Science Watchdog. Research on Communicating Science: A Collaboration Between Scientists and Journalists Covering the COVID-19 Pandemic in Indonesia.